Breaking News

Jumat, 12 Februari 2016

Meluruskan Konsep Forum Study Islam


Journey1Batusangkar - Dari sekian banyak sebutan terhadap organisasi ini, Forum Studi Islam (FSI) merupakan nama paling populer. Bahkan ketika disebut FSI saja, semua yang mendengarkan telah mempunyai gambaran yang sama tentang apa yang dimaksudkan.

FSI merupakan salah satu kegiatan ekstra-kurikuler yang menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai ciri khas organisasi ini dibanding lembaga-lembaga lainnya. Walau bermula dari lingkungan kampus—mahasis­wa, namun sekarang fenomena FSI juga berkembang di sekolah-sekolah. 

Fenomena FSI sedikit ba­nyak telah memberikan nuansa baru dalam kehidupan ma­syarakat muslim di Indonesia, khususnya kalangan mahasiswa. FSI berupaya menjadikan akti­visnya sebagai cerminan lengkap tentang gambaran seorang muslim. Islam tak hanya soal ritual belaka, tapi ritual itu hendaknya memengaruhi ting­kah perilaku pemeluknya untuk hidup islami. Pun demikian dengan ajaran-ajaran Islam lainnya. Kesempurnaan nilai dan luasnya cakupan aturan Islam diyakini sebagai solusi nyata untuk kehi­dupan yang paling baik.
Akan tetapi dalam perja­lanannya memasuki tahun-tahun terakhir ini, organisasi ini tak lebih dari sekadar event orga­nizer yang sibuk mengangkatkan sedikit acara ini dan kegiatan itu sebagai bukti eksistensinya. Sering pula yang sedikit itu tanpa persiapan matang sehingga jauh dari kata sukses hingga sepi peminat. Samar sekali gaungnya menyuarakan kebenaran Islam. Parahnya, kesan kuat bahwa organisasi ini sebagai per­panjangan tangan partai politik tertentu tidak dapat lagi disem­bunyikan.

FSI sebagai pelaku sejarah mau tidak mau juga mengalami proses sejarah. Kemunduran sebagai oposisi kemajuan, meru­pakan fitrah dalam perjalanan kehidupan setiap komunitas. Untuk menjadi pelajaran ber­harga hingga ke depan lebih baik lagi. Setiap peristiwa selalu saja mempunyai hikmah yang dapat dipetik. Terkadang me­mang terlambat untuk men­dulang hikmah sejarah itu, atau sama sekali mengabaikannya karena terlalu sibuk memikirkan masa depan hingga tak sempat sejenak saja menapaktilasi peristiwa masa lampau.

Di antara faktor utama—mungkin juga terutama—penye­bab kemunduran FSI adalah ketidak tahuan para  penggiat atas nama organisasi ini sendiri. Ketidak tahuan terhadap nama ini menunjukkan krisis identitas, sehingga dalam aktivitasnya terjadi kekaburan gerak yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Padahal untuk meraih keinginan, semestinya disesuaikan dengan kadar ke­mampuan diri. Mengenali kadar diri tak lain tak bukan beranjak dari pengetahuan atas diri sendiri. Nama adalah cerminan sederhana, namun sarat makna.

Apa yang terlintas dalam pikiran jika disebut Forum Studi Islam atau FSI?  Ma­hasiswa berjenggot dan ma­hasiswi berjilbab lebar? Maha­siswa yang tinggi semangat keislamannya? Yang berko­mitmen atas agamanya? Jika jawabannya ya, maka sama sekali tidak salah walau tidak pula sepenuhnya benar. Tak sepenuhnya benar bagaimana? Tak sepenuhnya benar karena jawaban-jawaban tadi  meru­pakan sekilas hasil pengamatan visual saja.

Seharusnya, ketika dise­butkan FSI, pertama kali yang harus dilakukan adalah mema­hami arti harfiah dari FSI itu sendiri. Forum bermakna wadah, tempat bertukar pikiran. Studi berarti pembelajaran atau pengkajian. Islam adala agama keselamatan. Jadi dapat dikata­kan bahwa Forum Studi Islam adalah suatu organisasi yang mengkaji Islam. Pertanyaannya adalah sudahkah FSI dalam kegiatan-kegiatannya mencer­min­kan hal seperti itu?

Sejauh  ini belum ditemukan rancangan kegiatan FSI yang berorientasi pada bidang ke­ilmuan Islam secara rinci. Kalaupun ada itu baru sebatas pada pembentukan wacana, seperti kegiatan tatsqif (majelis ilmu sekali sepekan dengan topik berbeda di setiap perte­muan) dan sejenisnya. Padahal untuk kalangan civitas aka­demika bukan merupakan hal yang sulit jika Islam dipelajari dengan disiplin ilmu tertentu seperti  tujuh dasar keilmuan Islam yang wajib bagi setiap muslim bahasa Arab, ilmu Akidah, ilmu Alquran, ilmu Sunah, ilmu Usul Fikih dan Fikih, serta ilmu Akhlak. Memang demikianlah seha­rusnya.

Akan tetapi, selalu saja ada banyak alasan bagi kalangan terdidik ini sehingga mempe­lajari Islam dengan tujuh disip­lin ilmu di atas dirasa mem­be­ratkan. Tanggung jawab per­kuliahan saja sudah menyita hampir semua waktu. Menjadi sangat menyusahkan bila harus pula menambah tanggungan baru dengan menekuni disiplin-disiplin ilmu tersebut. Belum lagi jika kesibukan lain seperti rapat, mengangkatkan suatu acara, dan sebagainya. Benar-benar terlihat tidak mungkin.
Sejatinya, alasan-alasan itu seharusnya tidak menjadi dalih untuk tidak mempelajari Islam melalui berbagai disiplin ilmu­nya. Sampai kapan pun, selaku penyeru Islam akan selalu saja ada amal dakwah yang memang menyita tenaga, waktu dan pikiran. Lalu kapan akan belajar jika alasan-alasan itu tetap saja diperdengarkan?

Bukankah Alquran berba­hasa Arab? Demikian juga Sunah yang terekam dalam kitab-kitab hadis muktabar. Apatah lagi dengan buah karya para ulama sejak zaman awal Islam hingga masa ini. Hampir semua referensi utama tentang Islam termaktub dalam bahasa Arab, baru sebagian kecil saja yang telah diterjemahkan. Sedangkan karya terjemahan selalu saja tidak sepenuhnya menggambarkan secara utuh sumber aslinya. Islam apa pula yang mau didakwahkan—aktivis FSI menganggap diri mereka sebagai kader dakwah atau dai— jika sekiranya kepahaman Islam yang diperoleh baru sebatas hasil terjemahan dari pihak kesekian?

Anggaplah sudah mempe­lajari dan menguasai bahasa pengantar Islam ini, lalu apakah Alquran dan Sunah sebagai dua sumber mata air Islam dapat begitu saja dibaca, ditelaah dan diamalkan kandungannya? Tentu saja tidak, enam disiplin ilmu lain tadi akan membim­bing bagaimana memahami Islam dengan benar. Agar terhindar dari kedangkalan pemikiran, ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan, dan parahnya berujung pada kesesa­tan dan menyesatkan.

Terutamanya untuk kalangan intelektual—mahasiswa, lebih-lebih lagi bagi yang mengaku mengemban amanah dakwah, menjadi pertanyaan mendasar tentang bidang keilmuan lain yang dipelajari dengan detil, melakukan riset ini dan itu, bahkan hingga meraih gelar tertinggi dalam bidang ilmu tersebut, mengapa tidak mela­kukan hal yang sama—seha­rusnya lebih—dalam mempe­lajari agama mulia ini? Apakah merasa cukup dengan penge­tahuan agama yang diperoleh dulunya pada jenjang pendi­dikan dasar? Kemudian ditam­bah secuil materi selama per­kuliahan di universitas? Atau cukuplah taklid saja pada keterangan para ustad?

Apapun pembinaan Islam yang dijalani, terlepas itu FSI atau bukan, ada tiga hal yang menjadi sorotan utama; Perta­ma, apakah para terbina dibekali dengan keilmuan Islam—bukan isu keislaman? Kedua, adakah wadah pembinaan itu mem­punyai program-program yang jelas dalam pengajaran ilmu keislaman tadi? Ketiga, sudah­kah para pembinanya adalah orang-orang yang menguasai dan memahami keilmuan Islam tersebut?

Bisa saja para terbina akan dibekali dengan keilmuan Islam, tetapi wadah itu tidak mempu­nyai program yang jelas untuk mewujudkannya. Boleh jadi para pembinanya adalah mereka yang berpengetahuan, namun tak sedikit pun menggesa yang terbina agar berpengetahuan juga. Tanpa disadari mereka ini menikmati singgasana ketahuan di atas kebodohan pengikutnya.

Jika nuansa keilmuan islam telah benar-benar  hidup dan semarak, maka kemajuan meru­pakan suatu kenicayaan. Islam tak lagi dikenali dari simbol-simbolnya saja, tetapi lebih pada keharmonisan pemahaman yang benar beserta cerimanan akhlak qur’ani. Tentu lebih dahulu dimulai dari para penggiat itu sendiri yang menyerukan pem­ba­haruan peradaban dengan nilai luhur Islam. Diharapkan pe­mimpin-pemimpin harapan masa datang lahir dari rahim organisasi ini. 

Walaupun memang, keke­liruan-kekeliruan pasti saja akan tetap terperbuat dalam per­jalanan mencapai tujuan, namun mampu dihindarkan dengan segera karena kawalan ilmu. Penumpang-penumpang gelap dapat disisihkan. Pun dengan para penunggang yang menya­bo­tase arah dan laju organisasi ini. Pengalaman dari dari kesalahan-kesalahan ini menjadi pelajaran berharga dan ek­spe­rimen aplikatif sebagai pe­nyempurna bekal ilmu yang dalam banyak hal terkesan berkutat pada tataran teoritis belaka.

    Sesungguhnya kebaikan itu hanyalah ada dalam agama Islam. Menjadi pilihan tanpa tawaran lain untuk memaha­minya de­ngan benar. Belajar merupakan cara utama ke arah sana, karena ilmu adalah de­ngan belajar, al ‘ilm bi at-ta’allum. Nabi bersab­da, “Se­siapa yang Allah meng­hendaki padanya kebaikan, maka Dia akan mejadikannya paham tentang agama. Umar menga­takan, “Pelajarilah ilmu (agama) itu sebelum kalian menjadi diangkat menjadi pemimpin. Sungguh para sahabat Nabi tetap menuntut ilmu walau mereka sudah berusia lanjut.” (mats inakri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Luangkan Waktu Anda untuk Mengisi Komentar pada kolom yang telah disediakan demi pembaharuan kedepannya. Terima kasih

Designed By Mr. Miko